Ecoprint: Memindahkan Belantara ke Selembar Kain

Semangat Lilies Harliani Hakim begitu menggebu, menutupi usianya yang sudah lewat 62 tahun. “Saya ingin memindahkan belantara ke selembar kain,” ujarnya.
Dedaunan beraneka bentuk saling mengisi. Hanya sedikit ruang tersisa di atas selembar kain basah itu. Kegembiraan mengatur dedaunan membuat tubuh terus bergerak. Kain sepanjang 2 meter lebar 150 cm membuat kita tak bisa diam. Kemudian kain yang sudah penuh tempelan daun diselimuti dengan selembar kain lagi, lantas digiling menggunakan pipa PVC, sebelum digulung dan direbus beberapa jam dalam dandang atau tabung logam besar.
Ada dua jenis proses pembuatan ecoprint. Yang tadi, dikenal dengan teknik iron blanket. Ada lagi teknik pounding, di mana daun yang sudah ditempel di atas kain dipukul-pukul dengan palu kayu atau karet untuk mengeluarkan zat warna dan meresapkannya ke kain. Ada juga yang menekan dengan semacam roda kayu atau logam.
Dengan mengetahui dan mempelajari berbagai jenis tumbuhan, menurut pendiri Bumi Katumbiri Art ini kita sekaligus dapat mengenal keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar. “Saya berkomunikasi dengan tumbuhan. Ketika mengambil daun, saya selalu meminta izin. Maaf, saya petik. Kamu tumbuh lagi ya. Memetiknya juga enggak sembarangan. Ada tekniknya.” Halaman dan teras rumahnya Pasirkuda Bogor Barat dipenuhi lebih dari 50 jenis tanaman.
“Ecoprint itu bermain dengan perasaan. Dan ini juga bisa buat terapi untuk anak berkebutuhan khusus lho. Ada dua murid saya yang menyandang autis,” ujar mantan pendidik yang sempat berdinas di SMPN 1 Ciomas, Bogor itu, “Bukan cuma itu, saya juga sering bilang seni ini sekaligus hot yoga.”
Lilies pemegang sertifikat ilmu Desain Fashion Ecoprint melalui lembaga IDE (Ikatan Desainer Ecoprint) Indonesia, dan telah menggelar deretan busana ecoprint karyanya dalam beberapa peragaan busana. “Hasil ecoprint sulit diprediksi. Ada saja warna yang muncul setelah saya melakukan berbagai percobaan. Sampai sekarang saya terus berlatih dan belajar.”
IDE Indonesia didirikan pada tahun 2021, diprakarsai empat srikandi perintis ecoprint di Indonesia, yaitu Inen Kurnia, Geisha Ratu, Sri Isnawati, dan Wirasanti. Inen suka berbagi ilmu ecoprint. Ia seringkali merasa karya-karya peserta pelatihan IDE Indonesia mampu melampaui kecantikan hasil seni para pendiri. “Sering aku rasakan, karya peserta lebih cantik dari karyaku. Dan itu yang paling membahagiakan,” ucapnya, memamerkan karya anak didiknya dengan formula mordant berbeda.
Ia bangga dengan kekayaan alam Indonesia. Ia menunjukkan bahan-bahan pewarna kain selimut ecoprint. Tegeran, tingi, jalawe, secang, dan simplokos. ”Simplokos dibuat dari daun loba. Pohonnya banyak tumbuh di Nusa Tenggara Timur. Hanya daun yang rontok diambil karena loba makin langka,” ujarnya.
Mordant adalah salah satu kunci dalam menampilkan warna daun dalam seni ecoprint. Kain direndam larutan tawas, kapur, tunjung. Kadang ditambah soda api dan cuka. “Setiap ecoprinter punya resep cairan mordant. Saya sendiri punya 39 resep. Melalui proses ini, zat tanin daun akan terikat pada kain hingga menghasilkan warna unik. Selain itu, tahapan yang tak kalah penting adalah scouring atau pembersihan kain, hingga fiksasi yang membuat kain tidak mudah berubah warna.
Dengan latar belakang pendidikan biologi dari Institut Pertanian Bogor, Lilies mengaku tak kesulitan mendalami seni cetak warna alami dari tanin daun. Langkahnya semakin mantap lantaran mendapatkan dukungan penuh sang suami, Ismatul Hakim, pensiunan Kementerian Lingkungan Hidup.
DownloadTemukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.