Elektrifikasi Transportasi Kurangi Emisi GRK dan Polusi
Kementerian Perhubungan Indonesia telah meluncurkan Dokumen Peta Jalan Implementasi E-Mobility untuk program transportasi massal berbasis bus rapid transit (BRT). Dokumen ini disusun oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia dan bertujuan untuk mencapai target 90 persen elektrifikasi armada transportasi publik perkotaan pada tahun 2030. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor transportasi darat.
Indonesia saat ini merupakan produsen emisi GRK terbesar keenam di dunia, menyumbang sekitar 3,11 persen dari total emisi GRK global. Sekitar 25 persen emisi GRK di sektor energi berasal dari sub sektor transportasi, yang disebabkan oleh tingginya kepemilikan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil dan rendahnya penggunaan transportasi publik, dengan mode share transportasi publik hanya 2-15 persen di kota-kota besar.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mendorong peningkatan penggunaan bus listrik sebagai transportasi publik untuk mengurangi GRK. Dalam acara Sustainable E-Mobility Event: Upscaling Bus Electrification Nationwide di Jakarta pada 21 Mei 2024, Budi menyatakan bahwa studi ini sangat bermanfaat dalam mempercepat pengembangan infrastruktur dan regulasi yang mendukung elektrifikasi transportasi publik.
Mengidentifikasi 11 kota prioritas untuk memulai elektrifikasi transportasi publik: Jakarta, Semarang, Pekanbaru, Batam, Medan, Bandung, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Bogor, dan Padang. Diharapkan, adopsi 6.600 unit bus listrik di 11 kota ini dapat menurunkan emisi GRK hingga 24 persen atau setara dengan 900.000 ton CO2 ekuivalen pada 2030. Jika skenario lebih ambisius diterapkan, pengurangan emisi GRK bisa mencapai 3,7 juta ton CO2 ekuivalen.
Dengan sumber listrik yang lebih ramah lingkungan, jumlah unit bus listrik yang sama dapat mengurangi emisi GRK lebih dari 44 persen dibandingkan dengan skenario Business-as-Usual (BaU). Selain itu, perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik berpotensi menurunkan emisi GRK lebih besar dari yang dihitung dalam studi ini. Elektrifikasi ini juga diperkirakan dapat mengurangi 1.494 kasus penyakit pernapasan akut karena berkurangnya polusi udara.
Tantangan Elektrifikasi Transportasi Publik
Dari 44 wilayah perkotaan yang telah memiliki layanan transportasi publik, 19 di antaranya tidak lagi beroperasi sejak 2023, menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah daerah terhadap penyediaan layanan transportasi publik yang berkelanjutan. Rasio jumlah penduduk dan jumlah bus di Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan kota-kota global lainnya.
Tantangan utama dalam elektrifikasi transportasi publik adalah biaya investasi awal yang tinggi dalam pengadaan bus listrik, yang harganya 250-300 persen lebih tinggi daripada bus konvensional. Selain itu, elektrifikasi membutuhkan infrastruktur pendukung seperti fasilitas pengisian daya dan infrastruktur kelistrikan tambahan, yang juga meningkatkan biaya investasi awal. Meskipun ada program insentif untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), insentif ini hanya menekan 2-5 persen dari biaya investasi awal dan lebih berfokus pada kendaraan pribadi.
Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan 31,89 persen emisi GRK dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030, salah satunya melalui penggunaan KBLBB. Komitmen ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 55/2019 yang kemudian diubah melalui Perpres No. 79/2023 tentang Percepatan Program KBLBB untuk Transportasi Jalan.
Kementerian Perhubungan menetapkan target 90 persen elektrifikasi armada transportasi publik perkotaan pada 2030, setara dengan lebih dari 45.000 unit bus listrik di 42 kota, dan target 100 persen pada 2040. Namun, hingga saat ini, jumlah bus listrik yang beroperasi baru mencapai 0,51 persen dari target tahun 2030.