Kajian Biaya Pengelolaan Limbah PLTS dan Baterai
Menuju target Emisi Nol, pemerintah mulai menggalakkan transisi energi dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi dan biaya teknologi panel surya dan baterai yang makin rendah. Tentu
hal ini memiliki konsekuensi yang perlu diantisipasi dan dikelola dengan baik, yaitu pengelolaan
limbah panel surya dan baterai pada kurun 15 hingga 20 tahun yang akan datang. Untuk itu,
pemerintah perlu mempersiapkan langkah-langkah yang tepat sejak sekarang, seiring usia
beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang sudah memasuki tahun ke-10. Selain itu,
perlu diketahui bahwa komponen dari panel surya dan baterai mengandung limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3). Dengan demikian, dibutuhkan penghitungan biaya pengelolaan
limbah B3 PLTS dan pedoman pengelolaannya agar sesuai dengan protokol pengelolaan limbah B3
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Proses pengumpulan limbah PLTS berlandaskan pada dua ketentuan, yaitu Undang-Undang (UU)
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan
UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pelaksanaan UU PPLH diperjelas oleh
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, yang mengandung ketentuan bahwa
pengelolaan limbah PLTS yang berasal dari kementerian/lembaga (K/L) dan pihak swasta
mengikuti mekanisme pengelolaan limbah B3. Sementara itu, UU Pengelolaan Sampah, dengan
peraturan teknis yaitu PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik,
memberikan kepraktisan dalam pengumpulan limbah PLTS yang dimiliki individu, seperti PLTS
atap. Limbah PLTS atap dapat diperlakukan sebagai limbah biasa sampai dengan mencapai
Tempat Penampungan Sampah Spesifik (TPSS) yang dibangun oleh pemerintah kabupaten/kota.
Saat ini terdapat beberapa perusahaan yang melakukan pengolahan limbah B3, dan salah satunya
memiliki fasilitas penimbunan sampah. Dengan jumlah PLTS beroperasi yang terus bertambah,
maka penanganan dan pengelolaan limbah PLTS perlu lebih diperhatikan agar tidak terjadi
masalah pencemaran lingkungan akibat pembuangan dan/atau pengelolaan limbah yang tidak
sesuai dengan peraturan. Kasus pencemaran akibat pengelolaan ilegal aki bekas hendaknya
menjadi cermin agar kasus serupa tidak terulang dalam pengelolaan limbah PLTS.
Kajian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Mengetahui biaya pengelolaan limbah baterai dan panel surya dari PLTS yang dikelola oleh PT
PLN (Persero), pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan kelompok
masyarakat secara nasional berdasarkan persebaran program PLTS pada masa mendatang,
yang kemungkinan akan dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) dan PT PLN. Secara lebih spesifik, kajian ini juga melakukan studi kasus pengelolaan
limbah PLTS di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan mengambil fokus di tiga pulau
besar (Pulau Flores, Pulau Sumba, dan Pulau Timor) dan beberapa pulau kecil yang telah
memiliki PLTS. - Merangkum regulasi di tingkat nasional dan daerah yang berhubungan dengan penanganan
limbah PLTS, baik limbah baterai maupun panel surya. - Mengidentifikasi solusi pengelolaan limbah baterai dan panel surya, serta memberikan
rekomendasi skenario terbaik dari rencana pengelolaan limbah hingga pada perbaikan
kebijakan. - Mengidentifikasi jalur transportasi dan biaya pengangkutan limbah, mengidentifikasi proses
pengelolaan limbah baterai dan panel surya, dan mengidentifikasi institusi dan perusahaan
yang dapat melakukan pengolahan limbah.
Provinsi NTT dipilih sebagai lokasi studi kasus karena jumlah besar PLTS yang beroperasi di provinsi
ini. Selain itu, NTT memiliki potensi iradiasi yang relatif tinggi dibandingkan daerah lain. NTT juga
merupakan salah satu wilayah Indonesia yang masih rendah tingkat elektrifikasinya, dengan
banyak wilayah mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang sangat mungkin
diganti dengan PLTS.
source :