Artikel

Ke mana Bali yang dulu? Berubah paras Pulau Dewata akibat membeludaknya turis

Banyak sudah julukan yang diberikan untuk Bali, mulai dari Pulau Dewata hingga Fajar Dunia. Apapun julukannya, namun bagi kebanyakan orang, Bali adalah ‘kepingan surga’.

Tapi Bali sekarang tidak lagi seperti dulu dengan nuansanya yang bebas dan santai. Pada Februari lalu, pemerintah daerah Bali meluncurkan unit Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pariwisata untuk menanggulangi masalah yang disebabkan ulah wisatawan asing dan domestik.

Sejak saat itu, unit ini telah menangani para turis yang mabuk atau yang mengemis di jalanan.

“Mereka mungkin kehabisan bekal dan meng-gepeng (menjadi gelandangan-pengemis). Ada seperti itu,” kata Dewa Nyoman Rai Dharmadi, kepala Satpol PP Pariwisata Provinsi Bali.

“Ada juga masyarakat lokal yang mengganggu aktivitas wisatawan. Ini yang kami ingatkan kepada mereka untuk sama-sama menciptakan suasana yang tertib bagi wisatawan yang beraktivitas.”

Satpol PP Pariwisata Provinsi Bali

Lebih dari 70 petugas Satpol PP Pariwisata telah dikerahkan ke berbagai kawasan populer di Bali, semisal Canggu, Seminyak dan Kuta.

Salah satu tugas mereka adalah memastikan para wisatawan berpakaian santun jika masuk ke pura di Bali – misalnya mengenakan selendang yang telah disediakan pengelola.

“Karena ketidaktahuannya, mereka tidak mengikuti peraturan saat memasuki tempat sakral,” kata Dharmadi.

Masyarakat Pulau Dewata sendiri kian resah dengan perilaku buruk para turis. Menanggapi keluhan tersebut, Mei tahun lalu, gubernur Bali ketika itu Wayan Koster mengusulkan pembatasan kuota turis asing.

Usulan tersebut pada akhirnya tidak terwujud dan Bali tetap menyandang status sebagai destinasi wisata paling populer di Indonesia.

Tim Satpol PP Pariwisata Bali berpatroli ditemani oleh “anjing pendamping turis”.

Tahun lalu Bali mendeportasi 340 warga asing, kebanyakan berasal dari Rusia, Inggris, Amerika Serikat dan Nigeria. Angka deportasi ini naik dari 188 orang di tahun 2022. Pelanggaran yang mereka lakukan di antaranya habis masa berlaku izin tinggal (overstay), bekerja ilegal, dan bertindak tidak sopan di tempat yang dianggap suci.

Pada Desember lalu, dua turis asal Amerika Serikat dan Bermuda ditangkap setelah video mereka yang tengah cekcok masalah pembayaran di sebuah salon kecantikan menjadi viral. Keduanya lantas dideportasi pada Februari, seperti yang dilaporkan oleh kepolisian setempat.

Awal tahun ini, polisi Bali menangkap tiga warga Meksiko atas perampokan yang melukai seorang wisatawan asal Turki.

Jumlah wisatawan ke Bali diprediksi akan mencapai rekor tertinggi tahun ini, seiring dibukanya kembali sektor pariwisata usai pandemi. Namun masalah yang akan ditimbulkan oleh membeludaknya wisatawan menjadi kian nyata.

Meski risiko masalah di depan mata, tapi Bali tetap menghendaki banyak wisatawan datang untuk menggantikan pemasukan di sektor wisata yang hilang ketika pandemi menghantam perekonomian mereka. Pada 2021, hanya ada 51 wisatawan asing yang datang ke Bali, bandingkan dengan 6,3 juta orang pada 2019.

Angka turis asing ke Bali mencapai hampir 5,3 juta pada tahun lalu, melampaui target 4,5 juta. Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjokorda Bagus Pemayun mengatakan, tahun ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno telah menaikkan targetnya menjadi tujuh juta.

“Tinggi juga,” kata Tjokorda kepada program Insight. “Semoga ini bisa tercapai, seiring dengan semakin banyaknya maskapai penerbangan menambah (rute) ke Bali.”

HUTAN BETON DI CANGGU

Membanjirnya turis tidak hanya meningkatkan kejadian perilaku buruk, melainkan juga berdampak pada sumber daya alam Bali. Citra Bali rusak akibat pembangunan yang tak terkendali, kepadatan penduduk dan kemacetan.

Saksikan video mengenai pariwisata Bali dengan membeludaknya turis di bawah ini, nyalakan subtitle untuk mendapatkan teks terjemahan Bahasa Indonesia:

https://youtube.com/watch?v=htomDXRLoGM%3Fautoplay%3D0%26start%3D0%26rel%3D0%26enablejsapi%3D1%26origin%3Dhttps%253A%252F%252Fwww.cna.id

Desember lalu, Bali menjadi pemberitaan ketika kemacetan parah di jalan tol memaksa wisatawan jalan kaki hingga empat kilometer menuju bandara. Kemacetan juga jamak ditemui di jalan-jalan menuju tempat-tempat wisata.

Dengan populasi Bali yang berjumlah 4,5 juta orang, berapa banyak turis yang bisa ditampung oleh pulau ini. Pertanyaan ini dilayangkan oleh Nyoman Sukma Arida, wakil dekan fakultas pariwisata di Universitas Udayana, Bali.

“Cukup tidak ketersediaan lahan dan airnya? Turis tentu perlu makan dan seterusnya,” kata dia.

Sejauh ini, itu yang dibiarkan abu-abu, Sehingga begitu masuknya hotel, restoran dan lainnya, perizinan itu diberikan terus tanpa melihat apakah Bali sudah over atau tidak.”

Dilema pembangunan di Bali kini sudah merambah ke kawasan Canggu. Selama puluhan tahun, pembangunan kawasan wisata di Bali telah merambah ke utara mulai dari Pantai Kuta menuju Legian, lalu ke Seminyak.

Sekarang di setiap jalanan Canggu telah berdiri bangunan-bangunan bertembok beton. Para pengembang tertarik membangun di kawasan ini harga tanahnya yang murah. Tapi Sukma mengatakan, pembangunan yang tidak terencana dengan baik membuat kawasan ini sekarang “mengalami macet parah”.

Baca Juga:  Landfill Tax: Peran Pajak dalam Mengelola Sampah di Indonesia
Kemacetan di Canggu

Tokoh masyarakat sekaligus warga asli Canggu, Made Kamajaya, mengatakan hubungan warga setempat dengan turis adalah “benci tapi rindu”.

“Pertumbuhan ekonomi masyarakat sudah semakin baik,” kata dia. “Tapi lingkungan kami sudah berubah. Bisa dilihat kerusakan di belakang rumah, di depan rumah. … Pembangunan yang sangat tidak terkontrol, hampir 90 persennya tidak memperhatikan lingkungan.

“Tidak ada keinginan untuk menanam pohon. Pengelolaan limbah itu sama sekali tidak ada.”

Made khawatir “amburadulnya infrastruktur justru akan mengancam daya tarik pariwisata itu sendiri”.

SITUS WARISAN DUNIA TERANCAM

Perambahan kota juga mengancam Area persawahan berundak atau terasiring di Desa Jatiluwih – situs Warisan Dunia Unesco yang jadi salah satu tempat wisata favorit di Bali.

“Pasti ada penambahan-penambahan (bangunan),” kata pemandu wisata Wayan Kaung. “Biasanya pelan-pelan. Ada bangunan kecil dulu, jual kelapa, lalu pelan-pelan jadi restoran.”

Pembangunan hulu di Jatiluwih juga akan mempengaruhi aliran air di hilir.

Setiap pekannya, Wayan setidaknya empat kali membawa turis berwisata ke Jatiluwih. Untuk menikmati keindahan alam Jatiluwih, wisatawan asing membayar tiket masuk Rp50.000, sementara turis domestik Rp15.000.

“(Tiket masuk) ini sah saja, karena saya melihat di dekat rumah sawah sudah hancur. Sudah banyak perumahan, konversi lahan sudah tidak jelas. Kita memang harus membayar sesuatu untuk menjaga ini,” kata dia.

Tapi cara ini tidak sepenuhnya bisa melindungi persawahan tersebut. Lembaga non-pemerintah asal Belanda, Transnational Institute, pada 2018 mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa Bali diperkirakan telah kehilangan 1.000 hektare lahan pertanian – setara 1.400 lapangan sepakbola – setiap tahunnya dalam 15 tahun terakhir.

Studi terbaru lainnya oleh Guru Besar Pertanian Universitas Udayana, Profesor Wayan Windia, menyebutkan bahwa Bali mengalami defisit 100.000 ton beras setiap tahunnya.

BenarNews menyebutkan bahwa 2020 adalah tahun dengan kehilangan lahan pertanian terbesar dalam sejarah Bali, dengan sekitar 1.200 hektar dikonversi untuk penggunaan lain.

Sebanyak 65 persen air tanah digunakan untuk industri pariwisata, menyebabkan setengah dari sungai di Bali kering, jadi ancaman bagi berbagai kawasan seperti Jatiluwih.

Bagi sebagian petani, memang lebih menguntungkan menjual lahan mereka ke pengembang ketimbang untuk pertanian.

“Selama pemandangannya bagus, ada peluang membangun vila,” kata Kaung. “Kalau ada satu orang menjual tanahnya untuk dibangun vila, semuanya akan ikut karena ada akses jalan.”

Beberapa petani yang tersisa menambah penghasilan mereka dengan membuat kerajinan tangan.

“karena peluang yang ditawarkan, warga desa bekerja keras membuat kerajinan tangan. Tapi pembayarannya kecil sekali. Tidak fair. Itulah yang ingin kami sikapi,” kata Agung Alit, pendiri Mitra Bali.

Kerajinan tangan hasil karya warga Bali.

Perusahaan Mitra Bali yang didirikan Agung membeli dan menjual kerajinan tangan hasil para seniman Bali.

“Kita ajak pengrajin bersama. Kita beri uang muka 50 persen, ketika barang datang, kita cek, seleksi dan bayar cash,” kata dia. 

Agung merasakan Bali adalah sebuah ironi – sangat bergantung kepada pariwisata, namun pariwisata itulah yang menghancurkannya. “Pariwisata sangat membius di Bali,” kata dia. “Dan sulit mengubahnya.”

MASALAH ADAT DAN BUDAYA

Di tempat lainnya di bagian utara Bali, popularitas Danau Tamblingan meningkat di kalangan wisatawan. Terbentuk dari kaldera kuno, Danau Tamblingan dikelilingi oleh hutan hujan Alas Mertajati.

Danau Tamblingan dan hutan hujan purba Alas Mertajati.

Danau dan hutan membantu melindungi sumber daya air bagi masyarakat adat yang sebagian besar adalah petani kopi, jeruk dan sayuran.

Hutan tersebut memiliki zona pariwisata alam, tempat investor bisa masuk, dan zona perlindungan alam. “Kami melihat pembalakan liar, yang berdampak pada hutan,” kata tetua adat Putu Ardana. “Itu yang kami tidak mau.”

Bersama dengan masyarakat setempat, Putu berusaha melindungi hutan. Mereka melobi pemerintah agar mengembalikan pengelolaan hutan kepada warga desa. Namun untuk bisa mewujudkannya, pemerintah terlebih dulu harus mengakui hak ulayat suku asli terhadap lahan tersebut.

Kepada pemerintah dan para investor, Putu menyampaikan kritikan kerasnya. “Pemerintah melihat (Bali) sebagai barang dagangan bagus. Kemudian investor membiayai, lalu pemerintah menawarkan dalam bentuk regulasi, perizinan dan lain sebagainya,” kata dia.

“Seharusnya jangan (melihat Bali) dengan konsep menjual, tapi memelihara.”

Putu Ardana (tengah), yang juga seorang petani kopi, sedang berbincang dengan para pekerja kebun.

Dalam tradisinya, pemasukan dari sektor pariwisata dalam beberapa tahun terakhir memberikan tambahan dana untuk pemeliharaan pura dan pengadaan upacara adat. Tapi sebagian orang mempertanyakan, apakah ritual adat akan kehilangan maknanya jika diadakan untuk tujuan pertunjukan.

Rucina Ballinger, salah satu penulis buku “Balinese Dance, Drama and Music” menyebutnya sebagai “degradasi budaya” ketika para wisatawan memiliki “pemahaman yang minim” tentang apa yang mereka saksikan.

“Dari sisi masyarakat Bali, (degradasi budaya) terjadi ketika mereka mengatakan (kepada turis) untuk melihat pertunjukan wisata ini, bukannya ‘pergilah ke warung, duduk, bicara dengan warga setempat, minum kopi dan pelajari kehidupan mereka’,” kata dia.

Baca Juga:  A Facilitator Reflection: What makes a community, a community?

“Wisatawan berdatangan dan mereka mengambil gambar. Ini telah menjadi budaya Instagram, menjadi budaya ‘ayo pergi ke tempat yang indah’. Sekarang semua tempat itu membuat spot Instagram untuk turis. Orang-orang datang hanya untuk melakukan itu.”

Rucina Ballinger yang lahir di Amerika Serikat pertama kali mengunjungi Bali pada 1974 untuk meneliti budayanya.

Bagi konsultan wisata Lenny Pande, seni, budaya, tradisi dan lingkungan adalah empat pilar pariwisata yang sangat penting “karena pilar-pilar itu ada dalam Hinduisme di Bali”.

Namun Lenny juga mengamati bahwa “kelestarian pilar-pilar tersebut sedikit berkurang” karena pembangunan yang berlebihan.

BALI YANG LEBIH BAIK DI MASA DEPAN

Seiring mencuatnya kekhawatiran akan dampak berlebihannya wisatawan di Bali, pemerintah setempat menjanjikan masa depan yang lebih berkelanjutan di pulau tersebut.

Juli lalu, gubernur Koster mengeluarkan panduan baru mengenai pembangunan Bali dalam 100 tahun ke depan (2025 hingga 2125). Dalam panduan termuat masalah perlindungan alam, budaya dan masyarakat Bali.

Melalui panduan tersebut, untuk pertama kalinya pemerintah Bali menyadari dampak negatif dari pariwisata massal bagi provinsi mereka, seperti seperti alih fungsi dan alih kepemilikan lahan, penodaan tempat suci, kerusakan alam dan bisnis ilegal.

Sebuah kutipan dari rencana pembangunan 100 tahun Bali yang diluncurkan pada Juli lalu.

“Salah satu kekhawatirannya adalah Bali dijual murah (sebagai destinasi wisata). Mudah-mudahan itu bisa kita minimalisir sehingga Bali ke depan bisa lebih baik lagi,” kata Tjokorda.

“Kami menginginkan wisatawan yang menghargai budaya lokal Bali. Kedua, wisatawan yang tinggalnya lebih lama, sehingga kami berharap lebih banyak menghabiskan uang.”

Sejak 14 Februari, pemerintah Bali telah menerapkan pajak wisata sebesar Rp150.000. Retribusi pajak tersebut akan digunakan untuk melestarikan warisan budaya Bali dan melindungi lingkungan.

“Lingkungan ini kan rumah besarnya. Arahan pimpinan, pungutan ini untuk menanggulangi masalah sampah,” kata Tjokorda.

Sementara untuk mengatasi permasalahan lalu lintas, solusi yang tengah dijajaki adalah pembangunan underpass baru. Ada juga rencana untuk pembangunan sistem LRT (Ligth Rail Transit).

Pada Januari lalu, rencana pajak hiburan hingga 75 persen menuai protes keras dari industri pariwisata. Sejak saat itu, rencana tersebut ditangguhkan.

Mei lalu, Koster mengumumkan larangan aktivitas turis di 22 gunung suci di Bali dengan alasan mencegah perilaku buruk yang kerap terjadi. Namun pada kenyataannya aktivitas wisata di gunung masih tetap berlanjut dan larangan tersebut praktis tidak berlaku.

Pemasukan dari sektor pariwisata memang sulit ditolak untuk sebagian orang, namun masyarakat lokal di Bali punya cara tersendiri melestarikan gaya hidup mereka. 

Misalnya di desa Penglipuran sebelah timur Bali, ada larangan bagi warga untuk menjual tanah mereka kepada orang luar. Desa tradisional itu juga populer di kalangan turis Indonesia, yang rela membayar tiket masuk Rp25.000 per orang.

Turis asing harus membayar tiket Rp50.000 untuk masuk ke desa Penglipuran.

Wisatawan diperbolehkan masuk ke rumah warga desa, melihat-lihat serta membeli camilan dan cenderamata. 

Memang terkesan jadi gangguan bagi warga, tapi uang yang dikumpulkan dari pengunjung yang bisa berjumlah 5.000 orang setiap hari terbukti dapat membantu melindungi budaya dan kehidupan lebih dari 1.100 warga desa tersebut. Saat masa pandemi, desa Penglipuran membagi rata uang hasil retribusi sekitar Rp3 miliar kepada warganya.

Wakil kepala desa Nyoman Setiawan bersyukur mereka masih memegang teguh adat budaya di desa Penglipuran. Dia mengatakan: “Sepanjang adat itu kuat, saya yakin apa yang terjadi seperti di Denpasar, Kuta dan Canggu tidak akan terjadi kepada kami.”

Kementerian pariwisata Indonesia mengatakan masa depan Bali tergantung pada inisiatif kecil namun berkelanjutan seperti ini.

Kendati demikian, Sukma dari Unversitas Udayana mengatakan perlunya pemerintah Bali untuk mengkalkulasi “daya kapasitas setiap kawasan dan Bali sebagai sebuah pulau”.

Lanskap Bali sedang berubah. Pertanyaannya adalah, seberapa berkelanjutan pembangunan perkotaannya?

 “Lalu, mereka harus memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengendalian daerah sendiri,” kata dia. “Masalahnya, masyarakat baru terlibat ketika masalah muncul.”

Seiring digenjotnya sektor pariwisata pasca pandemi, kesan surgawi di Bali kian memudar akibat kemacetan, timbunan sampah di pantai atau area persawahan yang menghilang. 

“Bali sudah rusak,” kata Ballinger, yang menikah dengan orang Bali dan memiliki dua putra dan tiga cucu. “Tidak mungkin hutan beton itu bisa diubah jadi persawahan lagi … atau menjadi sesuatu yang khas Bali.”

Akan tetapi, beberapa pihak melihat membeludaknya turis juga dapat membuka peluang bagi perubahan di Bali.

“Kalau kita menghormati dan memelihara itu (budaya), orang luar juga akan sungkan dan segan,” kata Sukma. “Jangan-jangan masyarakat Bali-nya yang mulai kendor akan hal itu. Itu pandangan saya.”

Source:

https://www.cna.id/indonesia/ke-mana-bali-yang-dulu-berubah-paras-pulau-dewata-akibat-membeludaknya-turis-15301

Konten Terkait

Back to top button