Kembali Menjadi Hutan: Menjemput Masa Depan dari Warisan yang Telah Lelah

Di tanah tinggi Priangan, pernah tumbuh hutan-hutan yang lebat dan luhur. Kanopi hijau meneduhkan langit, akar-akar menguatkan tanah, dan udara sejuk mengalir menjadi berkah. Alam adalah ibu, hutan adalah pelindung. Itulah Tanah Sunda—tempat dimana manusia hidup berdampingan dengan alam, menghormati segala yang tumbuh dan berkembang.
Namun, sejarah mencatat bahwa dalam masa kolonial, Belanda datang dengan tangan terbuka membawa dominasi. Mereka membabat hutan-hutan itu, menggantikannya dengan kebun teh yang rapi. Teh menjadi komoditas, bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk keuntungan jauh di seberang lautan. Alam yang penuh dengan kehidupan kini digantikan dengan produk yang hanya mementingkan keuntungan sesaat.
Setelah kemerdekaan, kebun teh itu diserahkan kepada negara melalui Perusahaan Perkebunan Nusantara (PTPN), dengan harapan bahwa tanah ini dapat dikelola demi kesejahteraan rakyat. Namun kenyataan berbicara lain. Lahan-lahan itu, yang dahulu penuh semangat dan potensi, kini terbengkalai. Produktivitas menurun, biaya operasional meningkat, dan kebun teh yang dulunya menjadi simbol kejayaan kini menjadi beban yang semakin berat. Tak ada lagi keseimbangan yang terjaga.
Ironisnya, banyak dari kebun teh ini kini disewakan oleh PTPN kepada pihak swasta untuk dijadikan tempat wisata komersial—villa, resort, glamping, dan taman-taman buatan. Pemandangan alam yang seharusnya menjadi berkah kehidupan kini disulap menjadi objek konsumsi sesaat, mengabaikan esensi sejati dari tanah itu sendiri: sebuah ekosistem yang hidup, sebuah warisan yang harus dijaga.
Namun dalam kegelapan itu, kami melihat secercah harapan. Dunia kini sadar akan nilai karbon. Hutan yang mampu menyerap emisi menjadi aset berharga. Dengan harga pasar karbon yang terus meningkat, mengembalikan kebun teh yang tak lagi produktif menjadi hutan kembali bukan hanya langkah ekologi, tetapi juga langkah ekonomi yang rasional. Satu hektar hutan yang dipulihkan mampu menyerap hingga 20 ton karbon dioksida per tahun, yang pada akhirnya membawa keuntungan jauh lebih besar daripada mempertahankan kebun teh yang kini merugi.
Kami yakin, bahwa keberanian untuk mengembalikan lahan-lahan ini menjadi hutan adalah langkah yang tepat. Bukan hanya untuk Indonesia, tetapi untuk seluruh dunia yang kini memerlukan solusi untuk krisis iklim. Mengembalikan lahan ini bukan sekadar untuk menumbuhkan pohon, tetapi untuk menumbuhkan masa depan yang lebih hijau, lebih seimbang, dan lebih berkelanjutan.
Sumber:
Temukan peta dengan kualitas terbaik untuk gambar peta indonesia lengkap dengan provinsi.