Pantau Gambut Sumsel Desak Hentikan Alih Fungsi Lahan Gambut untuk Cegah Krisis Ekologi
M Hairul Sobri, Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan, menyerukan kepada pemerintah dan aparat berwenang agar menghentikan segala bentuk alih fungsi lahan gambut, yang sering diubah menjadi area pertanian, perkebunan, atau digunakan untuk kepentingan lain. Pernyataan ini dibuat di Palembang, menggarisbawahi bahwa praktik semacam itu berpotensi menyebabkan dampak negatif lintas sektor, termasuk lingkungan, ekonomi, kesehatan, dan bahkan bisa mempengaruhi hubungan bilateral antarnegara.
Sobri menjelaskan bahwa alih fungsi lahan gambut dan pengelolaan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang tidak terkontrol dapat memicu krisis ekologi, termasuk kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta banjir yang berulang kali menimpa masyarakat di sekitar kawasan KHG. Untuk mengatasi masalah ini, Sobri menekankan perlunya keseriusan pemerintah untuk tidak mengeluarkan izin yang bisa mengancam keberlangsungan KHG.
Desi Efrida Lesti, Kepala Sub Pokja Restorasi Gambut Sumsel di Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), menyampaikan bahwa strategi restorasi gambut di provinsi telah melewati beberapa periode, dengan pendekatan yang berubah dari respons cepat dan parsial (2016-2020) menuju pendekatan yang lebih terintegrasi dan sistematis hingga 2024, dan berencana untuk implementasi penuh restorasi sistematis terpadu pada 2025. Tujuannya adalah untuk memastikan fungsi KHG terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Desi juga menyoroti bahwa masih ada tantangan di lapangan, termasuk ketergantungan masyarakat terhadap kawasan gambut, baik yang berstatus lindung maupun konservasi. Hal ini menuntut solusi yang tidak hanya fokus pada aspek teknis restorasi, tapi juga pada aspek sosial dan ekonomi, untuk menghindari konflik antara pemerintah dan masyarakat.
Kesimpulannya, kedua pihak menekankan pentingnya upaya berkelanjutan dan ditingkatkan dalam restorasi gambut, serta penghentian alih fungsi lahan gambut, sebagai langkah penting untuk mencegah dampak lingkungan dan krisis ekologi lebih lanjut di Sumatera Selatan.
sumber :