Pemensiunan PLTU Batu Bara Butuh Alokasi APBN
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menekankan pentingnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendukung proses pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Langkah ini dianggap penting terutama untuk pembangkit listrik yang dimiliki oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), karena menghadapi kesenjangan pendanaan yang tidak sepenuhnya dapat diatasi oleh dana luar negeri atau lembaga keuangan internasional.
Alasan Pentingnya Pendanaan dari APBN
Fabby menuturkan bahwa APBN dapat menutupi kesenjangan finansial yang timbul dari valuasi nilai PLTU yang masih diperdebatkan di tingkat internasional. Menurutnya, pengakhiran operasi PLTU batu bara melalui anggaran negara akan memungkinkan PT PLN mengalihkan dana kompensasi ke dalam kas perusahaan, sehingga memperkuat permodalan. Dengan modal yang lebih kuat, PT PLN diharapkan dapat melakukan investasi lebih besar pada pengembangan pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.
Faktor Penentu Pensiun Dini PLTU
Menurut IESR, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mengimplementasikan pensiun dini PLTU batu bara, di antaranya:
- Usia PLTU: Prioritas diberikan kepada PLTU yang telah beroperasi lebih dari 20 tahun atau melewati usia ekonomisnya.
- Teknologi yang Digunakan: PLTU dengan teknologi subcritical, yang dikenal menghasilkan emisi karbon lebih tinggi, harus dipensiunkan lebih dahulu.
- Pasokan Listrik Berlebih: PLTU di wilayah dengan kelebihan pasokan listrik dapat menjadi target pensiun dini agar tidak mengganggu keamanan energi nasional.
Komitmen IESR Terhadap Perjanjian Paris
IESR menekankan pentingnya langkah pensiun dini ini untuk mendukung pencapaian target Perjanjian Paris 2015, yang bertujuan mencegah kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celsius. Agar sesuai dengan target ini, kapasitas PLTU batu bara perlu berkurang secara bertahap sebesar 2-3 gigawatt (GW) per tahun hingga 2045.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2023
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023 merupakan payung hukum yang mendukung percepatan pensiun dini PLTU batu bara melalui Platform Transisi Energi yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). PMK ini memungkinkan pendanaan transisi energi berasal dari APBN maupun sumber lain, termasuk kerja sama internasional.
Namun, Fabby Tumiwa menyarankan agar PMK ini lebih efektif dengan memperjelas tata kelola dan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan serta alokasi dana. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan menurut IESR antara lain:
- Harmonisasi Kebijakan Lintas Sektor: Kebijakan transisi energi harus sejalan dengan kebijakan lain seperti persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) untuk batu bara, dan kebijakan subsidi bahan bakar fosil.
- Transparansi Mekanisme Pelaporan dan Evaluasi: Peraturan harus lebih jelas mengenai pelaporan dan evaluasi, yang belum sepenuhnya diatur dalam regulasi saat ini.
- Mandat PT SMI: PT SMI sebagai pengelola platform transisi energi perlu memperkuat kemampuannya untuk mengakses lebih banyak sumber keuangan serta memastikan mekanisme pemulihan biaya atau cost recovery.
Pensiun dini PLTU batu bara di Indonesia memerlukan dukungan yang kuat dari APBN serta kebijakan yang harmonis dan transparan. Hal ini tidak hanya akan membantu Indonesia mencapai target iklim yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, tetapi juga membuka peluang investasi dalam energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Pendekatan yang adil dan transparan dalam transisi ini juga akan memastikan keamanan energi serta kesejahteraan masyarakat di masa depan.
Sumber: