Perdagangan Karbon Melemahkan Peran Ekosistem Hutan
Penggunaan hutan dalam perdagangan karbon justru melemahkan fungsi utamanya sebagai ekosistem kompleks yang memberikan manfaat kesejahteraan sosial yang tinggi. Hal ini diungkapkan dalam studi terbaru oleh Science-Policy Programme (SciPol) dari International Union of Forest Research Organizations (IUFRO). Profesor Constance McDermott dari University of Oxford, salah satu penulis utama studi ini, menyatakan bahwa pendekatan berbasis pasar terhadap tata kelola hutan, seperti perdagangan karbon, semakin populer. Namun, menurut McDermott, pendekatan ini berisiko menciptakan kesenjangan dan berdampak buruk terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Dengan semakin parahnya krisis iklim, upaya dekarbonisasi dan penyerapan karbon semakin sering dibicarakan. Sektor kehutanan menjadi salah satu sektor yang dilirik untuk menyerap karbon. Namun, dalam proses ini, hutan seringkali dikomodifikasi, sehingga nilai dan fungsinya berubah menjadi komoditas ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa hutan sering dijadikan “pasar” baru yang berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek daripada keberlanjutan dan keadilan jangka panjang.
Keterbatasan Tata Kelola Hutan
Keberhasilan tata kelola hutan dalam memperlambat deforestasi masih terbatas dan sulit diukur. Laporan dari Forbes menyatakan bahwa sistem tata kelola kehutanan internasional (IFG) yang ada saat ini menghasilkan target dan janji yang berbeda-beda. Penggunaan laju deforestasi sebagai indikator utama efektivitas IFG menunjukkan kurangnya kesadaran akan keragaman kebutuhan dan permintaan terkait hutan di seluruh dunia. Profesor Daniela Kleinschmit dari Freiburg University, penulis utama laporan ini, menekankan pentingnya melihat hutan sebagai ekosistem yang kaya keanekaragaman hayati dan berdampak pada masyarakat setempat yang bergantung padanya.
Laporan ini berpendapat bahwa kebijakan tata kelola hutan harus mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan budaya hutan, bukan hanya solusi berbasis pasar. Kleinschmit menekankan bahwa pendekatan yang sama tidak bisa diterapkan di semua wilayah karena setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda. Di beberapa negara, penebangan atau penanaman pohon baru dapat memiliki dampak spiritual dan budaya yang signifikan. Oleh karena itu, kebutuhan spiritual dan budaya ini juga harus dipertimbangkan dalam kebijakan tata kelola hutan.
Penelitian ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem hutan. Kebijakan berbasis pasar harus diimbangi dengan penghargaan terhadap nilai sosial, budaya, dan keanekaragaman hayati hutan untuk mencapai pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan.
sumber :