Peuyeumisasi Sampah: Does Low Tech Matter?
Kebanyakan diantara kita termasuk mereka dari kalangan akademis atau yang disebut kaum “schoolar” lebih menggandrungi segala sesuatu yang berbau teknologi modern. Akhir-akhir ini juga sedang marak fenomena “era 4.0” dan pemerintah juga tidak mau kalah dengan menyerukan jargon-jargon bernada 4.0 seperti internet of thing dan ecommerce. Hampir setiap hari ada saja yang menawarkan seminar atau loka karya menyongsong 4.0 termasuk slogan-slogan SMART di bidang ketenaga listrikan. Namun benarkah bahwa berbagai permasalahan masa kini hanya bisa diselesaikan dengan teknologi dan konsep-konsep modern? Apakah teknologi sederhana atau “katrok” ndeso sudah tidak lagi berperan di era 4.0 ini?
Untuk menjawab hal tersebut saya coba mengulang kisah astronot Amerika dan kosmonot Rusia ketika mereka masing masing mencari alat tulis yang bisa dipakai sambil melayang di ruang hampa dalam perjalanan bersama ke ruang angkasa. Tim peneliti Amerika mengeluarkan biaya riset sangat besar untuk mendisain sejenis ballpoint teknologi tinggi yang tintanya tetap bisa keluar walaupun posisinya terbalik sedangkan kosmonot Rusia tanpa biaya riset sedikitpun menemukan bahwa alat tulis tersebut adalah pensil, so lowtech does matter. Ilustrasi berikutnya adalah pengalaman saya sendiri ketika menjadi Kepala Sektor Bukittinggi yang membawahi PLTA Maninjau. Saat itu danau Maninjau dipenuhi eceng gondok yang jumlahnya sangat besar bisa mengganggu operasi pembangkit sehingga perlu dibersihkan. Para pakar PLTA di Jawa dan di PLN Pusat menyarankan agar menggunakan sejenis kapal keruk meniru apa yang dilakukan di Rawa Pening. Karena biayanya sangat besar dan mobilisasi peralatan yang sangat sulit, saya tidak langsung menyetujui walaupun PLN Pusat akan menyediakan anggarannya. Kebetulan pada saat yang sama saya mengamati bagaimana teknologi yang digunakan oleh kontraktor Korea ketika harus memotong bukit berbatu di jalanan sempit dengan jurang yang dalam. Secara konvensional para pakar sipil otomatis menyarankan agar digunakan metoda peledakan, tetapi hal itu sangat berbahaya apabila dilakukan di tebing Lembah Anai yang curam dan sempit. Ditengah sinisme para ahli, akhirnya si kontraktor lokal memutuskan untuk mendatangkan ratusan tukang potong batu dari Jawa Barat, dan tidak sampai satu tahun bukit itu sudah terpotong hanya dengan ratusan tangan manusia dengan sekedar peralatan pahat. Yes!! Lowtech does matter. Saya juga memutuskan untuk mengerahkan para pemuda dan petani sekitar danau untuk secara berangsur membersihkan eceng gondok dengan sekedar memberi nasi bungkus dan upah harian…. dan danau Maninjau bersih lebih cepat dari perkiraan….Of Course Lowtech does matter.
Pengamatan dan pengalaman tersebut menginspirasi saya untuk melirik teknologi rakyat sederhana dalam mengelola listrik sehingga lahirlah gagasan Listrik Kerakyatan. Hal yang sama saya gunakan untuk mengolah sampah yang secara konvensional ditawarkan dengan teknologi dan peralatan modern
Pengolahan sampah organik menjadi pupuk telah berhasil diuji dan diimplementasikan oleh banyak pihak. Namun, pada pelaksanaannya, harus diawali dengan proses pemilahan antara sampah organik dan sampah non-organik (yang tidak memiliki nilai ekonomi) baik pada TPS dan TPA. Selain itu, penumpukan dan pembusukan sampah mengganggu pandangan (estetika) dan menyebabkan terjadnya polusi udara (aroma yang tidak sedap). Bahkan, tumpukan sampah menjadi sarang berbagai binatang yang merupakan vektor penyakit dan sumber berbagai organisma patogen. Selanjutnya, akan terjadi kontaminasi bahan beracun dan berbahaya (B3) ke lingkungan sekltar, sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan hidup. Untuk menjawab permasalahan itu, Sonny D.S, memiliki ide tentang, “Bagaimana jika seluruh sampah tidak dipilah (organik dan non-organik) ?”
Akhirnya dikembangkanlah inovasi berupa metode “Peuyeumisasi” yang merupakan proses alami menggunakan keramba bambu yang mampu mengkonversi sampah organik dan non- organik menjadi bahan bakar padat. Peuyeumisasi dalam pemrosesan sampah adalah proses pemeraman secara mikrobiologi, bukan kimiawi, yang bertujuan mempecepat terjadinya peluruhan/penguraian (degradasi) sampah padat yang dilakukan secara sederhana pada box bambu dengan memanfaatkan bioactivator berisi bakteri tertentu sehingga sampah tersebut bisa hilang baunya dan menyusut dalam waktu dapat menghasilkan suatu produk bricket sampah yang memiliki kadar kalori 2500 – 4000 kkal. Metode ini ditemukan dan dikembangkan oleh Sonny Djatnika Sundadjaya, pakar Listrik Kerakyatan dari Institut Teknologi Bandung angkatan 1974. Dalam metode ini, selain menghasilkan briket, Gas yang dihasilkan adalah gas yang ramah lingkungan. Secara kimiawi, gas sampah adalah CO2 + CH4. Untuk itu perlu dilakukan briketisasi dan dilakukan gasifikasi sehingga menghasilkan CO + H2.
MIROBA FUNGSIONAL
Bioaktivator-Probiotik
EM Fermentasi (Bokashi): Lactic acid bacteria ; Photosynthetic bacteria, Yeast (Lactobacillus), Actinomyces, Moulds
EM Peuyeumisasi: Bacillus sp; Lactobacillus, Azoto bacter; Ragi (Lactobacillus
Effective microorganism adalah campuran berbagai jenis kultur organisma yang bermanfaat secara alami yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keaneka ragaman ekosistem tanah secara mikrobial
Apakah EM ini berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman pertanian? Publikasi riset terhadap EM Bokashi: 70% (signifikan) 30% tidak signifikan