Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) Dikritik: Tidak Mendukung Transisi Energi Berkelanjutan dan Berkeadilan
Pada 6 September 2024, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII DPR RI menyetujui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, organisasi lingkungan Trend Asia mengajukan kritik tajam terhadap rancangan ini, menganggapnya sebagai solusi yang tidak mendorong transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
1. Minimnya Demokratisasi Energi dalam PP KEN
Trend Asia mencatat bahwa PP KEN yang disusun tidak transparan dan tidak mengikutsertakan informasi penting terkait perhitungan capaian energi final. Rancangan ini dinilai tidak menyediakan akses yang jelas bagi masyarakat terhadap perencanaan energi, yang berdampak pada kebijakan transisi energi hingga tahun 2060. Masyarakat juga tidak diberikan jaminan bahwa pilihan teknologi dalam kebijakan ini tidak akan merusak ruang hidup mereka dan menciptakan krisis multidimensi. Selain itu, tidak ada mitigasi dampak terhadap teknologi yang dipilih, yang seharusnya mempertimbangkan krisis iklim dan daur hidup energi secara keseluruhan.
2. Perpanjangan Penggunaan Energi Fosil
PP KEN masih mengakomodasi penggunaan energi fosil seperti batu bara dan gas hingga tahun 2060, bertentangan dengan desakan global untuk segera beralih dari bahan bakar fosil. Tren suhu global yang terus meningkat, dengan bumi mencatat rekor suhu tertinggi pada Juni 2024, menunjukkan perlunya tindakan segera untuk mengurangi emisi. Namun, kebijakan ini dinilai mempertahankan status quo yang lebih memprioritaskan kepentingan bisnis ketimbang menanggulangi krisis iklim.
3. Bioenergi Sebagai Solusi yang Dipertanyakan
Penggunaan biomassa melalui program co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan Pembangkit Listrik Biomassa (PLTBm) juga menuai kritik. Meskipun dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon, penggunaan biomassa memicu masalah lain seperti deforestasi dan pelepasan emisi karbon yang signifikan. Selain itu, rendahnya nilai kalori biomassa dibandingkan dengan batu bara serta potensi konflik sosial di wilayah adat dan lahan pertanian membuat program ini dipertanyakan. Harga biomassa yang tidak stabil di pasar internasional juga menjadi tantangan bagi pasokan domestik.
4. Kurangnya Komitmen Terhadap Energi Terbarukan yang Berkeadilan
PP KEN juga dikritik karena melemahkan komitmen terhadap energi terbarukan yang adil. Target bauran energi terbarukan pada 2030 diturunkan dari 24% menjadi 19-22%. Lebih parah lagi, kategori energi baru dan terbarukan disatukan, yang melegitimasi teknologi “energi rendah karbon” seperti nuklir, hidrogen, dan amonia, yang sebenarnya masih berpotensi merusak lingkungan dan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Tidak ada dukungan bagi pengembangan energi terbarukan skala komunitas, terutama di wilayah-wilayah 4T (tertinggal, terdepan, terluar, terpencil), yang mengindikasikan kebijakan ini tidak inklusif.
5. Dampak Sosial dan Ekologis dari Kebijakan yang Tidak Berkeadilan
Trend Asia juga memperingatkan bahwa PP KEN yang tidak menerapkan prinsip-prinsip keadilan dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi, sosial, dan kerusakan ekologi. Minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan kebijakan ini bisa membuka ruang bagi masuknya kepentingan taipan energi dan risiko korupsi. Konflik sosial, perampasan lahan, serta intimidasi terhadap masyarakat lokal yang menolak proyek energi kerap kali terjadi, seringkali dengan keterlibatan aparat keamanan. Pilihan energi yang tidak memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan juga dinilai memperparah krisis iklim, menyebabkan bencana ekologis dan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar dari biaya pembangunan infrastruktur energi.
PP KEN dinilai sebagai kebijakan yang tidak mendorong transformasi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Alih-alih mengarah pada transisi energi yang ramah lingkungan dan inklusif, kebijakan ini mempertahankan penggunaan energi fosil dan teknologi kontroversial, yang dikhawatirkan akan memicu krisis multidimensi di masa depan.
sumber :