Makalah

Merengkuh Kota Ramah Pejalan Kaki dan Pesepeda: Pembelajaran Mancanegara dan Agenda Ke Depan

Sejak beberapa dekade terakhir, kota berkembang demikian cepat terutama dengan ditemukannya kendaraan bermotor. Sebagai akibatnya, filosofi perencanaan kota bergeser memberi prioritas pada transportasi bermotor, dan kemudian hampir mengabaikan atau hanya memberi prioritas rendah pada moda berjalan kaki dan bersepeda. Menjadi pemandangan biasa pada hampir seluruh kota di dunia, pejalan kaki dan pesepeda kurang mendapat layanan sebagaimana mestinya. Tidak tersedia jalan orang, parkir sepeda sulit ditemukan, penyeberangan orang seadanya, bahkan ancaman kecelakaan lalulintas bagi pejalan kaki dan pesepeda bertambah tinggi dari hari ke hari.

Penduduk kota dipaksa untuk menggunakan transportasi bermotor bahkan untuk jarak dekat sekalipun. Saat ini kendaraan mobil menyebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca, telah menjadi pemahaman bersama. Namun tidak hanya itu, mobil juga menyebabkan polusi udara, air, dan 2 suara, tabrakan, dan peningkatan biaya infrastruktur. Bahkan sebenarnya keberadaan kendaraan listrik hanya memberi jalan keluar bagi sebagian masalah karena tetap menyebabkan polusi dari ban mobil ketika berjalan serta tetap membutuhkan ruang.

Masyarakat mungkin tidak menyadari bahwa setiap penambahan mobil membutuhkan ruang bagi infrastruktur jalan, tempat parkir, yang berarti mengurangi ruang bagi kegiatan lain. Selain itu, muncul fenomena baru yaitu untuk mengurangi kemacetan dibangun lebih banyak jalan tetapi kemacetan tetap terjadi malah mendorong makin banyak mobil. Fenomena ini dikenal dengan “induced demad”, sederhananya dimaknai sebagai permintaan yang didorong oleh penyediaan kemudahan infrastruktur dalam dekade terakhir mulai bergaung upaya pengembangan kota yang lebih sehat dan berkelanjutan. Kondisi masyarakat dan kota yang lebih sehat akan lebih mudah tercapai ketika penduduk kota dapat dengan mudah dan aman berjalan kaki atau bersepeda serta mengurangi penggunaan kendaraan bermotor atau paling jauh menggunakan kendaraan publik ke tujuan kegiatannya sehari-hari.

Sebenarnya Lynch (1960) sudah mengingatkan bahwa pada dasarnya berjalan kaki merupakan salah satu bagian dari sistem transportasi yang sangat penting karena vitalitas kota terlihat dari adanya aktivitas pejalan kaki di ruang kota (Christiana, 2017). Kesadaran bahwa berjalan kaki bagian dari sistem transportasi perkotaan mulai kembali sebagaimana ditunjukkan oleh bergulirnya arus pemikiran pengembangan transportasi nonmotor yang mulai menunjukkan hasilnya.

Terlihat dari kesadaran pentingnya mewujudkan sistem transportasi nonmotor sebagai salah satu upaya mengurangi dampak perubahan iklim telah menjadi agenda global (Global Side Walk Challenge). Saat ini, sudah mulai sering terdengar istilah Kota Ramah Pejalan Kaki dan Pesepeda, yang pada prinsipnya mengurangi prioritas bagi kendaraan bermotor dan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi moda berjalan kaki dan bersepeda.

Beberapa waktu terakhir, beberapa kota metropolitan dan besar di Indonesia terlihat mulai memberi perhatian terhadap keberadaan pejalan kaki dan pesepeda. Namun, perlu disadari bahwa membangun kota yang ramah pejalan kaki dan pesepeda bukan semudah membalik telapak tangan. Tidak cukup hanya komitmen pemimpin kota. Tidak juga cukup dengan melebarkan trotoar dan menyediakan jalur khusus sepeda. Jauh lebih kompleks dari itu.

Tulisan ini berupaya memberi gambaran umum pembelajaran dari perjuangan kota mancanegara dengan perhatian khusus pada beberapa kota dunia seperti Wina (Austria), Freiburg (Jerman), Kopenhagen (Denmark), Barcelona (Spanyol), Portland (USA), London (Inggris), San Fransisco (USA), New York (USA), Toronto (Kanada), Melbourne (Australia), Venesia (Italia), Hong Kong, Tokyo (Jepang), Seoul (Korea Selatan) dan Singapura dalam upaya menjadi kota ramah pejalan kaki dan pesepeda.

DOWNLOAD

Konten Terkait

Back to top button